- Negeri Khayal memiliki potensi wisata yang luar biasa namun kerap kali diintervensi oleh penguasa setempat demi meraup keuntungan (fulus) yang sebesar-besarnya.
Menanggapi permasalahan tersebut, beberapa materi yang dapat saya sampaikan selaku narasumber dalam seminar yang diadakan oleh Universitas Halusinasi adalah sebagai berikut:
1.
Proses Perencanaan Pembangunan Kawasan Wisata
Negeri Impian dengan Potensi Alam yang Menakjubkan |
Perencanaan (planning) adalah sebuah proses
pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau
atraksi. Planning adalah proses yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan,
bersifat sistematis dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan
implementasi dari berbagai alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan
tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi
elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen
atau elemen yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan
berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).
Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan
tindakan-tindakan yang mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan
(jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan
kemampuan-kemampuan fisik, ekonomi, sosial budaya,dan tenaga yang terbatas.
Perencanaan
sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three brains)
yaitu:
1. Kemampuan melihat ke depan.
2. Kemampuan menganalisis.
3. Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara
permasalahan.
Bila kita rinci pengertian perencanaan tersebut maka
dalam batasan perencanaan terdapat unsur: suatu pandangan jauh ke depan,
merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan alat –
alat secara efektif dan ekonomis dan menggunakan koordinasi dalam pelaksanaan.
Perencanaan
Pariwisata oleh Inskeep & Gunn
Sebelum memulai pelaksanaan pengembangan kawasan
“Negeri Khayal” sebagai sebuah kawasan pariwisata baru, sangat penting diawal
untuk semua stakeholder yang terkait memahami pengertian, maksud dan tujuan
perencanaan pariwisata itu sendiri agar arah pengembangannya nanti dapat
terkontrol dan sesuai dengan tujuan bersama yaitu Pro Growth, Pro Poor dan Pro
Job. Dibawah ini adalah definisi perencanaan pariwisata oleh Inskeep &
Gunn.
Inskeep mendefinisikan perencanaan sebagai
“mengorganisasikan masa depan untuk meraih tujuan tertentu”. Pendekatan yang
komprehensif dan menyeluruh dibutuhkan bukan saja karena keseluruhan aspek
(dalam perencanaan pariwisata) saling terkait, melainkan pula terhubung dengan
lingkungan alamiah dan area sosial. Dengan segera, pemikiran Inskeep merubah
kecenderungan para perencana pariwisata dalam memandang alam dan komunitas.
Kedua hal itu kini dipandang sebagai subjek, bukan objek yang bisa dieksplorasi
maupun dieksploitasi. Ide inilah yang kemudian diresapi oleh Inskeep dalam
berbagai penjelasan selanjutnya terhadap cara serta proses bagaimana melakukan
perencanaan pariwisata dalam lingkup nasional dan regional, serta dalam
menganalisis perencanaan, memformulasikan kebijakan, mendesain pembangunan,
mempertimbangkan dampak, maupun menstrategikan dan mengimplementasikan tourism
plan.
Inskeep
& Gunn (1994), mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu :
1)
Mempertahankan kelestarian lingkungannya
2)
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut
3) Menjamin
kepuasan pengunjung
4) Meningkatkan keterpaduan dan
unity pembangunan masyarakat di
sekitar kawasan dan zone pengembangannya.
Sehingga melalui konsep perencanaan pariwisata yang
dijelaskan oleh Gunn dan Inskeeps dapat di terik kesimpulan bahwa dalam
melakukan sebuah perencanaan suatu objek wisata, diperlukan adanya fokus yang
lebih menyeluruh pada aspek lain selain sumber daya (atraksi) yang ada daerah
sehingga pembangunan dan pengembangan objek pariwisata di suatu daerah selain
untuk menggerakan roda ekonomi, diharapkan dapat berperan dalam menjaga
kelestarian lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat
disekitarnya melalui keterlibatan secara langsung dalam sebuah pembangunan dan
pengembangan pariwisata tersebut (Community Invironment).
2.
Pendekatan Perencanaan Pembangunan Pariwisata
- Comprehensive Approach (pendekatan menyeluruh)
- Integrated Approach (pendekatan keterpaduan)
- Strategic Approach (pendekatan strategi)
- Participatory Approach
3.
Konsep “Tourism Area Life Cycle of Evolution” oleh Butler
Seperti halnya diawal, setelah memahami latar
belakang sebuah perencanaan kawasan pariwisata “Negeri Khayal”, stakeholder termasuk
pemerintah dan masyarakat diharapkan mampu untuk memahami konsep dari Tourism
Area Life Cycle of Evolution dimana konsep ini sangat penting untuk
mengantisipasi penurunan kualitas kawasan karena eksploitasi yang berlebihan
yang dilakukan. Berikut adalah penjelasannya;
Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980 dalam
http://tourismbali.wordpress.com/, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan
dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
A.
Tahap Penemuan (Exploration)
Potensi pariwisata berada pada tahapan identifikasi
dan menunjukkan destinasi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daya
tarik atau destinasi wisata karena didukung oleh keindahan alam yang masih
alami, daya tarik wisata alamiah masih sangat asli, pada sisi lainnya telah ada
kunjungan wisatawan dalam jumlah kecil dan mereka masih leluasa dapat bertemu
dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan penduduk local. Karakteristik ini
cukup untuk dijadikan alasan pengembangan sebuah kawasan menjadi sebuah destinasi
atau daya tarik wisata.
B.
Tahap Pelibatan (Involvement)
Pada tahap pelibatan, masyarakat local mengambil
inisiatif dengan menyediakan berbagai pelayanan jasa untuk para wisatawan yang
mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam beberapa periode,. Masyarakat
dan pemerintah local sudah mulai melakukan sosialiasi atau periklanan dalam
skala terbatas, pada musim atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada
liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar, dalam kondisi
ini pemerintah local mengambil inisiatif untuk membangun infrastruktur
pariwisata namun masih dalam skala dan jumlah yang terbatas.
C.
Tahap Pengembangan (Development)
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan
dalam jumlah besar dan pemerintah sudah berani mengundang investor nasional
atau internatsional untuk menanamkan modal di kawasan wisataw yang akan
dikembangkan. Perusahaan asing (MNC) Multinational companytelah beroperasi dan
cenderung mengantikan perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil yang dikelola oleh penduduk local mulai tersisih
hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan global yang mengharapkan
standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk dan
menjalankan fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama
dengan pemerintah sehingga investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi
yang ada sebagai tujuan investasinya.
D.
Tahap Konsolidasi (Consolidation)
Pada tahap ini, sector pariwisata menunjukkan
dominasi dalam struktur ekonomi pada suatu kawasan dan ada kecenderungan
dominasi jaringan international semakin kuat memegang peranannya pada kawasan
wisata atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih menunjukkan
peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara perusahaan
sejenis pada industri pariwisata pada kawasan tersebut. Peranan pemerintah
local mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi untuk melakukan
re-organisasional, dan balancing peran dan tugas antara sector pemerintah dan
swasta. Hubungan antara swasta (MNC dan Nasional) dan pemerintah daerah semakin
meningkat baik hubungan Government to Government (G2G), Business to Business
(B2B), dan Business to government (B2G).
E.
Tahap Stagnasi (Stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah
tercapai dan beberapa periode menunjukkan angka yang cenderung stagnan.
Walaupun angka kunjungan masih relative tinggi namun destinasi sebenarnya tidak
menarik lagi bagi wisatawan. Wisatawan yang masih datang adalah mereka yang
termasuk repeater guest atau mereka yang tergolong wisatawan yang loyal dengan
berbagai alasan. Program-program promosi dilakukan dengan sangat intensif namun
usaha untuk mendatangkan wisatawan atau pelanggan baru sangat sulit
terjadi. Pengelolaan destinasi melampui
daya dukung sehingga terjadi hal-hal negatif tentang destinasi seperti
kerusakan lingkungan, maraknya tindakan kriminal, persaingan harga yang tidak
sehat pada industry pariwisata, dan telah terjadi degradasi budaya masyarakat
lokal.
F.
Tahap Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)
Setelah terjadi Stagnasi, ada dua kemungkinan bisa terjadi pada
kelangsungan sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari
tahap stagnasi, besar kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh wisatawan dan
mereka akan memilih destinasi lainnya yang dianggap lebih menarik. Destinasi
hanya dikunjungi oleh wisatawan domestik saja itupun hanya ramai pada akhir
pekan dan hari liburan saja. Banyak fasilitas wisata berubah fungsi menjadi
fasilitas selain pariwisata. Jika Ingin Melanjutkan pariwisata?, perlu
dilakukan pertimbangan dengan mengubah pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar
pasar baru, mereposisi attraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih menarik.
Jika Manajemen Destinasi memiliki modal yang cukup?, atau ada pihak swasta yang
tertarik untuk melakukan penyehatan seperti membangun atraksi man-made, usaha
seperti itu dapat dilakukan, namun semua usaha belum menjamin terjadinya
peremajaan.
Grafik Perkembangan Pembangunan Pariwisata |
4.
Multiplier Efek Kawasan Wisata
Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet)
dari kepariwisataan ini membawa konsekuensi bahwa kepariwisataan akan
menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, setiap
satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan menciptakan dampak
pengganda ini antara lain berupa:
- Sales Multiplier
- Output Multiplier
- Income Multiplier
- Government Revenue Multiplier
- Employment Multiplier
5.
Daya Dukung (Carrying Capacity) dan Kedudukannya Dalam Proses Perencanaan oleh
MacLeod & Cooper
Untuk menghindari
decline atau penurunan kualitas yang telah dijelaskan pada teori Butler diatas,
teori daya dukung atau harus dipahami oleh pemegang kebijakan dan masyarakat
“Negeri Khayal” untuk menghindari kerusakana yang terjadi karena eksploitasi
yang berlebihan baik eksploitasi pada sumber daya alam dan ranah sosial budaya
masyakat “Negeri Khayal” sebagai tuan rumah.
Daya dukung mengacu pada kemampuan sebuah sistem
untuk mendukung suatu aktivitas pada derajat (level) tertentu (MacLeod and
Cooper, 2005). daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai jumlah optimum
individu suatu speseis yang dapat didukung kebutuhan hidupnya oleh satu kawasan
tertentu pada periode perkembangan spesis secara maksimum. Sementara menurut
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya
dukung dimaksudkan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk dapat mendukung
peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dalam suatu ekosistem.
Konsep
daya dukung menurut MacLeod and Cooper (2005) dikategorikan atas: daya dukung
fisik, daya dukung ekologi, daya dukung sosial dan daya dukung ekonomi.
- Daya dukung fisik; Didasarkan pada batas spasial sebuah areal dengan memperhatikan berapa materi (unit) yang dapat ditampung dalam areal tersebut.
- Daya dukung ekologi: secara sederhana adalah berapa ukuran populasi pada suatu ekosistem agar ekosistem tersebut dapat berkelanjutan, batas kepadatan populasi yang melebihi daya dukung dapat menyebabkan laju tingkat kematian spesies menjadi lebih besar dibandingkan angka kelahiran. Pada prakteknya, hubungan antar spesies amatlah kompleks dan angka kelahiran maupun kematian rata-rata dapat menyeimbangkan kepadatan populasi pada suatu tempat.
- Daya dukung sosial : intinya adalah ukuran yang dapat ditoleransi pada suatu tempat yang dikerumuni orang banyak.
- Daya dukung ekonomi: dapat digambarkan sebagai tingkat dimana suatu area dapat diubah sebelum aktivitas ekonomi terjadi sebelum mendapat pengaruh yang merugikan.
Sehingga, melalui konsep daya dukung yang dipaparkan
diatas, dapat disimpulkan bahwa daya dukung (Carrying Capacity) memegang
peranan dan kedudukan yang vital dalam mengontrol arah pengembangan perencanaan
suatu obyek pariwisata sehingga aktifitas pariwisata yang dibangun tersebut
dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan dengan menganalisis daya dukung
yang tersedia di suatu obyek wisata untuk memenuhi permintaan/aktifitas
kepariwisataan tersebut baik itu wisatawan (demand) ataupun sumber daya manusia
dan alam (supply).
4.
Keterkaitan 5 Pilar Pengembangan
Berikut dibawah ini merupakan salah satu inti
keterkaitan 5 pilar pengembangan yang harus dicermati dalam membangun kawasan
pariwisata di “Negeri Khayal”. Proses perencanaan pengembangan kawasan
pariwisata “Negeri Khayal” diawali dengan melakukan analisis faktor internal
dan eksternal suatu kawasan. Faktor internal adalah sesuatu yang dapat
diprediksi dan diatur sesuai tujuannya, hal yang berada didalamnya yaitu Supply
(Tourist Attraction, Accessibility, Amenity, Ancillary, Community Involvement)
Sedangkan factor eksternal adalah Demand (Tingkat kunjungan wisatawan) yang
datang kesuatu kawasan pariwisata.
- Hubungan Demand dengan Tourist Attraction
Tourist attraction
adalah segala atraksi di “Negeri Khayal” yang mernarik untuk
dilihat dan dikunjungi sehingga sangat
besar pengaruhnya dalam mempengaruhi demand (tourist) untuk berkunjung kesuatu
destinasi pariwisata.
- Hubungan Demand dengan Accessibility
Akses adalah suatu hal yang sangat penting dan vital
dalam mempengaruhi kunjungan wisatawan (demand) ke suatu objek/destinasi
pariwisata termasuk “Negeri Khayal”. Tidak dapat dipungkiri, dalam pengembangan
sebuah destinasi pariwisata demand saling mempengaruhi dalam pembangunan akses
menuju objek wisata tersebut. Jika suatu daerah memiliki potensi pariwisata,
maka harus disediakan aksesibilitas yang memadai sehingga daerah tersebut dapat
dikunjungi demand atau tourist.
- Hubungan Demand dengan Amenities
Amenities merupakan hal yang pentingnya dalam
pengembangan kawasan pariwisata “Negeri Khayal. Amenities dapat berbentuk
fasilitas-fasilitas penunjang seperti hotel, transportasi, restaurant, spa, dan
yang lainnya. Jika di suatu daerah tidak terdapat amenities yang mencukupi,
maka demand tidak akan betah berkunjung di tempat tersebut. Amenities ini
sangat dipengaruhi oleh permintaan dan harapan konsumen, Fasilitas-fasilitas
inilah yang menyebabkan demand merasa betah dan nyaman berada di suatu
destinasi pariwisata. Jika amenities tidak berkualitas dan mencukupi, maka
demand tidak akan tertarik untuk mengunjungi daerah tersebut. Begitu pula
sebaliknya, jika tidak ada demand maka amenities tidak akan berkembang karena
tidak ada pemasukan atau keuntungan. Namun sebaliknya, jika pembangunan amenity
core tersebut dilakukan terlalu eksploratif seperti yang terjadi di “Negeri
Khayal” maka pengembangan tersebut akan jauh dari konsep sustainability yang
berbasis berkelanjutan dan pro kerakyatan.
- Hubungan Demand dengan Ancillaries
Ancillaries adalah hal-hal pendukung sebuah
pariwisata, seperti misalnya ketersediaan tourist information centre dan
peraturan-peraturan mengenai objek wisata tersebut. Adanya hal-hal pendukung
ini disebabkan oleh demand yang berkunjung ke suatu tempat karena hal-hal
tersebut dibutuhkan oleh demand dan dirasa dapat menghasilkan keuntungan,
kenyamanan dan keamanan dalam berkunjung.
- Hubungan Demand dengan Community Involvement
Community involvement adalah keterlibatan atau
dukungan masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Community involvement ini sangat
mempengaruhi kunjungan demand. Masyarakat harus dapat mendukung jalannya
kegiatan pariwisata ini. Jika masyarakat tidak mendukung atau melakukan
tindakan-tindakan anarkis seperti pencurian, perampokan, pengeboman,
pembunuhan, maka demand tidak akan berani mengunjungi daerah tersebut.
Sebaliknya, jika masyarakat bersikap baik dan ramah terhadap tamu, maka tourist
akan betah tinggal di daerah tersebut. Sehingga peran keterlibatan masyarakat
“Negeri Khayal” adalah sangat menentukan keberlanjutan sebuah kawasan wisatanya
sendiri, terlebih dengan potensi kebudayaan yang mengundang minat wisatawan
mancanegara untuk berkunjung maka telah sepantasnya masyakat “Negeri Khayal”
dapat menikmati hasil pariwisata itu sendiri.
5.
Tri Hita Karana Sebagai Landasan Pembangunan Kawasan Pariwisata
Bali merupakan labolatorium hidup pariwisata, di
Bali sendiri dapat disaksikan jatuh bangun dari pariwisata di Indonesia. Salah satu
filosofis Hindu yang menjadi dasar perencanaan pembangunan pariwisata di Bali
adalah Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana atau tiga hubungan yang harus dijaga
untuk kehidupan yang sejahtera, didukung pula dengan konsep Tri Angga dan Tri
Mandala. Bagian-bagian Tri Hita Karana terdiri dari:
- Hubungan Manusia dengan Tuhan
- Hubungan Manusia dengan Manusia
- Hubungan Manusia dengan Lingkungan (Hayati dan
Hewani)
Sementara Tri Angga dan Tri Mandala merupakan
konsepsi pengaturan ruang yang dibedakan menjadi:
- daerah Nista (dasar bangunan/bagian paling luar
suatu bangunan)
- daerah Madya (badan bangunan/bagian tengah dari
suatu bangunan)
- daerah Utama (atap/bagian paling dalam dari sebuah
bangunan)
6.
Perencanaan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan Oleh Verseci dalam A.Yoeti
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan
dilakukan dengan mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang
tersebar diseluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan,
untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu
dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253) dalam kasus
ini adalah masyarakat ”Negeri Khayal”, perlu dilakukan penjelasan dengan
melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat dan
para stakeholder agar terwujudnya sebuah pengembangan kawasan pariwisata yang
berkelanjutan dan pro community.
Verseci dalam A.Yoeti (2008: 253) perencanaan
strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja
sebagai berikut:
- Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
- Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan keempat factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity
- Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.
- Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.
- Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.
7.
Ecotourism sebagai Alat dalam Perencanaan Kawasan Wisata berkelanjutan
Ecotourism atau eko-wisata atau pariwisata ekologi
di sub-kategorikan dari pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) atau
salah satu segmen pasar dari pariwisata berbasis lingkungan alam (Daud, 2009).
Pariwisata berbasis lingkungan alam (pariwisata hutan/pariwisata bahari) hanya
merupakan aktivitas kunjungan ke tempat alamiah seperti melihat burung di hutan
atau biota unik lainnya pada ekosistem pesisir (seperti rekreasi SCUBA diving).
Sedangkan `ecotourism’ memberi keuntungan bagi lingkungan, budaya, dan ekonomi
komunitas lokal seperti mengamati burung atau biota unik lainnya dengan `guide’
orang lokal, tinggal bersama penduduk lokal atau pondokan alami (eco-lodge)
yang disediakan penduduk masyarakat dan memberi kontribusi ekonomi bagi penduduk
local (eco-charge). Haruslah dibedakan antara konsep dari `ecotourism’ (wisata
ekologi) dan `sustainable tourism’ (pariwisata berkelanjutan), dimana
pengertian `ecotourism’ merujuk pada segmen dari sektor pariwisata, sedangkan
prinsip `sustainability’ diterapkan pada segala tipe aktivitas, operasi,
pembuatan/pendirian dan proyek pariwisata termasuk bentuk yang konvensional
maupun alternatif. `Ecotourism’ mutlak memperhatikan pemeliharaan
lingkungan alam (conservation), bukan sebaliknya mengubah keaslian alam
sehingga menganggu keseimbangan alam. Pemahaman pariwisata ekologi adalah untuk
menyokong atau menopang keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan
alamnya. Kualifikasi aktivitas dalam ecotourism senantiasa berorientasi
terhadap cara-cara pengembangan dan pemeliharaan keutuhan alam yang
berkelanjutan.
United
Nations of Environment Programme (UNEP) telah merangkum karakteristik umum
mengenai `ecotoursim’ yaitu :
- Berdasar atas bentuk pariwisata alam dengan motivasi utama turis adalah untuk pengamatan dan mengapresiasi serta menghargai alam sama seperti budaya tradisional dalam kesatuan daerah alami, seperti kesatuan ekosistem pulau.
- Berisi pendidikan dan interpretasi mengenai obyek alam yang dijadikan target (misalnya pada objek alam ekosistem hutan, gunung, pulau atau ekosistem pesisir dan laut).
- Secara umum memiliki kelompok kecil turis yang diorganisasi oleh sekelompok kecil specialist dan bisnisnya dimiliki dan dijalankan orang lokal. Operator dari luar negeri dengan berbagai ukuran juga diatur, dioperasikan dan/atau dipasarkan dalam kelompok-kelompok kecil yang tentunya bekerjasama dengan penduduk setempat
- Seminim mungkin mengurangi dampak negatif pada lingkungan alam dan sosial-budaya lokal.
- Mendukung perlindungan daerah alam.
Sebagai
sarana pengembangan, `ecotourism’ dapat memajukan 3 tujuan utama dari konvensi
keanekaragaman biologi (Convention on Biological Diversity), yaitu:
- Melestarikan keanekaragaman biologi (dan budaya), dengan penguatan sistem pengelolaan daerah yang dilindungi (public/private) dan meningkatkan nilai suatu ekosistem.
- Mempromosikan pemanfaatan keanekaragaman berkelanjutan, dengan pemerataan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam bidang `ecotourism’ dan jaringan usahanya.
- Membagi keuntungan yang sama dari pengembangan `ecotourism’ dengan komunitas dan penduduk lokal/asli, seperti dengan cara menerima persetujuan penduduk lokal dan partisipasi penuh dalam perencanaan dan pengelolaan usaha/bisnis `ecotourism’.
Dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik,
`ecotourism’ telah terbukti menjadi alat yang efektif bagi konservasi jangka
panjang bagi keanekaragaman hayati di samping usaha-usaha lainnya. Bagaimanapun
`ecotourism’ telah bergerak maju bagi industri pariwisata di negara pesisir
seperti di Malaysia, Australia, beberapa Negara Afrika, Meksiko, Jepang,
Maldive dan Negara-negara di Karibia. Bagi keberlangsungan aktivitas `ecotourism’
diperlukan pengaturan yang pantas dan penanganan khusus seperti pengaturan pada
ekosistem yang asli dan dilindungi (Taman Nasional atau Cagar Alam). Karena
dampak dari `ecotourism’ itu sendiri akan lebih parah dari batasan pariwisata
pada umumnya . Hal ini termasuk pengalaman belajar/interpretasi operator
`ecotourism’, pengaturan jumlah kelompok turis dalam skala kecil, dan
sensitivitas terhadap ketegangan dengan pemilik dan penghuni komunitas setempat
khususnya masyarakat lokal.
Memang, industri pariwisata dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat dan perekonomian negara, sekaligus berpotensi memproteksi
lingkungan. Namun lebih dari itu, pariwisata dan aktivitas pembangunan lainnya
dapat menjadi kekuatan besar yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan,
termasuk manusia di dalamnya.
Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan, maka
tidak mengherankan berbagai macam usaha dari organisasi pariwisata dunia dan
juga organisasi lingkungan mendengung-dengungkan mengenai pembangunan yang
berkelanjutan. Badan dunia pun seperti PBB di tahun 2002 telah menerima usulan
dan menjadikan tahun tersebut sebagai tahun bagi `Ecotourism’ (International
Year of Ecotourism), hal ini juga sebagai wujud usaha perlindungan lingkungan. Pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan tidak hanya
berhenti dan bergantung dari usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut.
Kesadaran secara menyeluruh dari masyarakat, `yang berkepentingan’ dan
teristimewa pemerintah untuk lebih menghargai lingkungannya akan memberi nilai
bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.
Pariwisata Berkelanjutan untuk Generasi Muda |
SIMPULAN
Berdasarkan uraian dan teori-teori tersebut di atas maka
dapat disimpulkan bahwa, pariwisata tidak hanya sekedar banyaknya pemasukan
(uang) yang diperoleh tetapi bagaimana cara untuk terus melestarikan daya tarik
wisata tersebut. Negeri Khayal memiliki potensi wisata yang luar biasa, namun
apa mungkin itu bertahan lama? Maka dari itu daripada mengupayakan untuk meraup
keuntungan sebanyak-banyaknya, akan lebih baik apa bila penguasa mengevaluasi
kembali kebijakan yang telah berjalan selama ini dengan mengembangkan
pariwisata yang berkualitas. Bukan lagi jumlah wisatawan yang mencerminkan
suatu destinasi telah sukses mengembangkan pariwisatanya (mass tourism) tetapi
kontribusi yang diberikan oleh wisatawan tersebutlah yang lebih penting. Sumber
Daya Manusia (SDM) dari Negeri Khayal juga harus terus ditingkatkan, terutama
dari segi bahasa dan pemahaman terhadap pariwisata berkelanjutan. Sistem zoning
juga sangat diperlukan agar daerah-daerah yang seharusnya menjadi tempat
konservasi dan cagar alam tidak dengan mudah dirubah menjadi kawasan
pariwisata/resort. Perlu diingat, bahwa untuk membuat sebuah destinasi yang
luar biasa kita tidak perlu merubah yang telah ada, karena “keaslian tidak
ternilai harganya” tinggal bagaimana kita membuat keaslian itu bertahan terus-menerus
(berkelanjutan).
Daftar
Pustaka
http://tourismbali.wordpress.com/ oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Bayu Wisnawa, I
Made (2012)
Daud,Pahlano,JR.
(2009). Pariwisata dan Perubahan Lingkungan.
Paturusi, Samsul
A. 2001. Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan
Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
Yoeti, Oka A.
2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Pradnya Paramita: Jakarta
Score: 90 its excellent
BalasHapus